Minggu, 05 Mei 2013

061. De Javu



“Hei! Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanyaku pada seseorang yang sedang membaca buku di bawah salah satu pohon taman di sekolah baruku.
            “Tidak! Bertemu pun baru kali ini! Permisi, saya mau pergi!” Jawabnya yang tergesa-tergesa meninggalkanku sendiri. Aku sungguh heran. Aku merasa bahwa aku pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. Dengan suasana dan wajah yang sama, semuanya sangat familiar bagiku. Tapi kapan? Itu yang sekarang menjadi tanda tanya besar dalam benakku. Aku baru pindah ke sekolah ini, mungkinkah aku pernah mengalami hal serupa seperti ini? Ah, rasanya tak mungkin! Datang ke kota ini saja, aku tak pernah. Aku benar-benar merasa ada yang salah dengan diriku. Aku membuat gagasan, bahwa aku adalah makhluk dari negeri antah berantah yang menyamar sebagai putri dari papa dan mama, lalu agar misiku berhasil, orang-orang dari negeriku memberi pil pelupa ingatan! Gagasan yang aneh, memang. Namun otakku sudah terlalu penuh untuk memikirkan gagasan-gagasan lainnya. Kepalaku pening. Aku ingin merebahkan diriku di ranjang UKS. Aku berusaha berlari sekuat tenaga, menghiraukan jeritan-jeritan saraf otak dan kakiku yang memprotes aku berlari. Kubuka paksa pintu ruang UKS yang sedikit macet. Ada dua ranjang di dalamnya, namun salah satu ranjang sudah ditempati seseorang. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena tubuhnya ditutupi selimut dan tirai sebagai pembatas antar ranjang. Aku tidak peduli siapa dia, yang kubutuhkan sekarang hanyalah mengistirahatkan tubuh dan otakku yang sudah lelah memikirkan hal-hal yang sangat membingungkan ini. Aku berusaha memejamkan mataku, namun tak bisa. Ketika ku dengar penghuni sebelahku bangkit dari ranjangnya, aku berpura-pura tidur. Aku mendengar langkah kakinya yang semakin mendekat dan suara pintu yang macet dibuka. Hening sesaat. Saat aku mengira orang itu sudah pergi, aku membuka mataku.
            “Sudah ku duga, kamu pasti tidak tidur,” Ujar seseorang dari samping ranjangku dengan tiba-tiba. Sontak, aku terkejut. Aku mengira orang itu sudah pergi, ternyata ia menipu pendengaranku.
            “Hey! Kok melamun? Memangnya kamu sakit apa?” Tanyanya, menghapus semua pertanyaan yang sudah siap ku lontarkan dalam benakku. Bukannya aku menjawab, aku malah terbatuk. Suara itu sungguh menenangkan. Aku seperti telah mengenal suara itu bertahun-tahun lamanya. Tapi di mana? Dan siapa?
            “Nih, minum dulu! Omong-omong, kamu siapa? Kamu murid baru ya di sini? Soalnya, aku belum pernah melihat kamu,” Ujarnya lagi setelah mengambilkan segelas air putih untukku.
            “Y,ya! Aku...murid baru di sini,” Jawabku. Akhirnya, aku bisa juga mengeluarkan suaraku, meskipun agak parau.
            “Badanmu panas. Kamu demam ya? Apa kamu merasa pening?” Tanyanya setelah tak sengaja menyentuh kulit tanganku.
            “Mm..benarkah?  Ya, aku merasa pening. Tapi, aku baik-baik saja. Oh, ya. Kamu belum menyebutkan namamu,”
            “Namaku Arga. Namamu?” Katanya sambil menjulurkan tangannya padaku. Arga, nama itu sungguh tidak asing. Aku semakin bingung dengan perasaanku yang rumit ini. Jelas-jelas baru pertama kali aku bertemu dengannya. Entah mengapa aku merasa sudah mengenalnya. Bila aku pernah mengalami kecelakaan hingga menyebabkan Amnesia, mungkin semua orang mengenaliku. Namun ini sungguh bertolak belakang dengan kenyataan. Aku merasa pernah mengenal mereka, tapi mereka tak pernah mengenalku.
            Sebuah tepukan tangan membangunkanku dari lamunan. Arga yang melakukannya.
            “Kenapa setiap kali aku bicara, kamu selalu melamun?”
            “O,oh! Masa sih? Tadi,..sampai di mana?” Jawabku dengan sedikit gagap.
            “Namamu siapa?” Tanyanya lagi, dengan pandangan penuh curiga.
            “Aku, Moza. Salam kenal!” Jawabku dengan senyum, mencoba mencairkan suasana.
            “Hm, Moza. Hampir mirip dengan Maze – labirin, ya!” Jawabnya sekenanya. Maze? Ya, nama itu memang tepat untukku. Hidupku penuh labirin dan teka-teki. Aku tak tahu harus memulai darimana dan mengakhirinya di mana. Aku sungguh frustasi dibuatnya. Aku menginginkan kebenaran, kejujuran atas semua hal yang aku alami.
            Hello! Kamu melamun lagi! Sudahlah, mungkin kamu memang butuh istirahat. Badanmu panas, dan mukamu sangat merah. Baringkan tubuhmu!” Perintahnya. Aku menurut. Aku merebahkan tubuhku, dan ia menyelimutiku. Ketika ia berbalik, aku mencegahnya. Aku menarik tangannya. Ia berbalik kembali dan memandangi tanganku yang memegang tangannya.
            “Maaf, tapi aku tidak mau ditinggal sendiri di sini. Maukah kamu menemaniku? Karena aku belum mempunyai teman,” Rajukku.
            “Siapa bilang kamu belum mempunyai teman?  Sekarang, aku adalah temanmu! Apa kamu tidak menganggap bahwa perkenalan kita tadi adalah formulir sebuah pertemanan?” Tanyanya. Ia mengahampiriku di sisi ranjang.
            “Oh, ya! Aku, tak menyadarinya!” Celetukku. Arga pun tersenyum.
            “Baiklah, karena kita adalah teman, aku akan menemanimu di sini,”
            “Tunggu, ada sesuatu yang masih mengganjal di hatiku. Sebenarnya, apa yang kamu lakukan di sini?” Tanyaku polos.
            “Ahahaha, tadi aku hanya berpura-pura sakit. Karena aku lupa mengerjakan tugas dari Pak Kumis, guru Matematika yang sangat Killer itu!” Jawabnya santai. Ia pergi mengambil kursi dan membawanya ke samping ranjangku.
            “Sudahlah, wajahmu terlihat sangat pucat dan lelah. Segeralah minum obat lalu istirahat,” Nasihatnya sambil mengambil obat pereda pening di kotak P3K. Ia menyerahkan sebutir tablet Paraccetamol dan memberiku segelas air putih. Aku memejamkan mataku dan mencoba untuk tidur. Namun gagal. Akhirnya aku memutuskan untuk berpura-pura tidur hingga ia pergi.
            What’s wrong with me? Semuanya terasa tak asing! Aku tak mngerti mengapa semua terjadi padaku! Tuhan, bila aku memang pernah mengalami ini sebelumnya, tolong, bukakan pintu kebenaran untukku! Aku sungguh bosan harus bermain teka-teki seperti ini!” Gumamku pada diriku sendiri.
* * *
            Kini, aku sangat tergantung padanya. Bukan karena aku belum memiliki teman, melainkan karena bila berada di dekatnya aku merasa nyaman –bukan, lebih tepatnya karena aku pernah merasakan ini sebelumnya.
Minggu pagi, aku dan Arga berjanji untuk Jogging bersama di tempat yang telah kami atur. Aku memang belum pernah ke sini sebelumnya, namun perasaan itu datang kembali. Aku seperti merasa di tempat yang dulu pernah ku datangi. Aku tak bisa mengingat kapan tepatnya aku pernah ke sini. Usahaku sia-sia. Berpikir terlalu keras membuat otakku serasa buntu. Aku seperti orang bodoh yang tak tahu sedang apa aku di sini. Aku hanya tertawa kecil, ketika aku ingat bahwa aku adalah warga baru di kota ini. Hei, mana mungkin aku pernah ke sini sebelumnya? Kutepis perasaan-perasaan aneh itu. Aku mencoba untuk berpikir realistis, tidak harus memedulikan De Javu. Ku lirik arloji, jarumnya menunjukkan pukul 6.15. Ia terlambat. Akhirnya aku memutuskan untuk berkeliling-keliling. Handphoneku berdering ketika aku baru beranjak dari tempatku menunggu semula. Arga yang menelepon. Ku pencet tombol Accept.
            “Halo,” Sapaku.
            “Haloh! Hosh..hosh..Mozah..hosh..kamuh..di manah..hosh..hosh??” Tanyanya dengan napas yang tersengal-sengal.
            “Aku di tempat janjian kita! Kamu di mana? Aku sudah menunggumu daritadi,”
            “Mahaf..hosh..hosh..aku..sudah..hosh..dekat..hosh..hosh!”
            “Sudah dekat di mana?”
            “Hosh..aku sudah..hosh..di belakangmuh..hosh..hosh,” Ujarnya. Sontak, aku menoleh ke belakang, dan yang kudapati adalah seseorang yang sangat berkeringat dengan lingkaran hitam di bawah matanya sedang memegang ponsel di salah satu genggamannya. Untuk sepersekian detik, aku tak sadar bahwa ia adalah Arga.
            “He....i!” Ucapnya kelelahan.
            “Kenapa kamu terengah-engah?” Tanyaku dengan tololnya.
            “Aku..habis lari! Apakah kamu tidak lihat kaosku basah kuyup begini!”
            “Kenapa pula kamu harus lari?”
            “Karena aku begadang semalaman, jadi aku kesiangan!” Jawabnya tak sabaran. Aku memberinya sebotol air mineral yang ku bawa sebagai bekal. Ia menenggak habis minumannya seperti orang kesetanan. Aku mengajaknya berbicara sambil berjalan.
            “Kenapa kamu begadang?”
            “Karena aku ..., hei! Daritadi tanya kenapa terus! Sudah! Aku capek berlari sepanjang 4 kilometer agar tidak terlambat menemuimu!” Jawabnya ketus.
            Fine! Aku tidak akan tanya lagi!”
            Aku berpura-pura mengunci mulutku lalu membuang kuncinya ke arah semak-semak di sampingnya. Aku menatapnya, ia malah tertawa dan mengacak-acak rambutku. Untuk sedetik dalam waktuku mengenalnya, aku melihat sinar pelangi yang sangat indah dalam matanya yang -sungguh- tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Aku sangat terpesona melihatnya, sampai-sampai aku tak sadar mulutku terbuka.
            “Permisi, Nona! Bisa tidak kamu tutup mulutmu? Karena menyebarkan bau yang sangat tidak sedap,” Ujar Arga. Aku yang sadar mulutku terbuka, segera menutup mulut dan memalingkan pandanganku dengan salah tingkah.
            “Hei! Mulutku tidak bau! Aku sudah menyikat gigiku lebih sering daripada kamu!” Pekikku.
            “Oh,ya? Memangnya kamu tahu kapan aku menyikat gigiku? Hahahahaha! Kalau begitu, coba kejar aku dengan mulut terbuka, dengan begitu aku percaya kamu sering menyikat gigimu lebih dari aku!” Katanya yang sudah berlari. Aku tidak bisa mencerna maksud ucapannya. Namun akhirnya, aku mengejarnya juga. Kami berdua tertawa riang.
Aku sudah merasa lelah berlari. Bersandarlah aku pada sebuah pohon yang cukup rindang di sisi Jogging track. Napasku sangat sulit diatur karena aku berlari sambil tertawa. Dadaku sesak, perutku pun sakit. Arga memperlambat larinya, malah berlari mundur ke arahku.
            “Wah! Kamu payah! Baru segitu, sudah menyerah!” Ejeknya.
            “Akuh..hosh..hosh..kelelahan..hosh! Akuh..tidak terbiasah..hosh..hosh..berlarih sah..mbil tertah..hosh..hosh..wah!” jawabku dengan napas tersengal.
            “Mm..baiklah! Kita istirahat di sini!”
            “Yaah, ku rasah, aku butuh minum!”
            “Hei, di seberang sana ada warung! Aku pergi dulu untuk membelinya! Kamu di sini saja ya,” Katanya. Ia bangkit dan berlari menuju seberang. Sedetik sebelum itu, aku tak yakin, haruskah ia membeli minuman di seberang taman. Namun ku tepis rasa itu, toh ia pandai menyebrang. Aku kibas-kibaskan tanganku karena gerah. Tak lama setelah Arga pergi, aku mendengar suara decitan kendaraan bermotor yang sangat memilukan dilanjutkan dengan suara hantaman yang keras.
            “DEGG” Jantungku berdegup sangat kencang. Aku merasa semua aliran darahku mengalir lebih cepat dari sebelumnya.
            “Mungkinkah...mungkinkah...,” Pekikku panik. Aku langsung berlari ke tempat terjadinya tabrakan itu. Ku lihat, orang-orang sudah berkerumun. Aku berusaha mendesak maju untuk melihat kepastian. Aku melihat darah kental berwarna merah tua mengalir ke mana-mana. Aku memekik lebih kencang, ketika ku lihat siapa korbannya. Tubuhku lemas bagai tanpa tulang. Kepalaku pening. Aku merasa ada yang memutar-mutar bumi ini. Pandanganku kabur, lewat beberapa detik, aku..tak bisa mengingat apa-apa lagi. Ketika aku siuman, aku sudah berada dalam ruangan serba putih dan bau-bauan khas rumah sakit. Bajuku pun sudah diganti. Aku langsung bangkit. Ku lihat Papa dan Mama sedang berdiri di sisi tempat tidur.
            “Papa! Mama!” Aku langsung memeluk keduanya. Bulir-bulir air mata mulai berjatuhan di pipiku.
            “Papa, mama, bagaimana keadaan Arga?” Tanyaku sambil mengusap air mata. Kedua orang tuaku malah bingung dan saling berpandangan.
            “Arga ada di mana?” Tanyaku lagi. Mama yang khawatir akan keadaanku, langsung menenangkan dengan menggenggam tanganku.
            “Sayang, Arga..,” Jawab Mama. Beliau tampak sedang berpikir keras untuk mempertimbangkan kalimat yang harus ia ucapkan.
            “Arga..sudah meninggal sejak 2 tahun yang lalu,” Lanjut Mama. Aku sungguh tak percaya dengan jawaban Mama. Mana mungkin ia sudah meninggal bertahun-tahun lalu sementara baru tadi ia mengalami kecelakaan? Aku shock! Aku sungguh tak mengerti dengan dunia ini. Aku benar-benar bingung dibuatnya. Baru beberapa bulan aku mengenalnya, tapi ia sudah meninggal sejak 2 tahun yang lalu? Mama bilang, Arga meninggal pada sebuah kecelakaan saat ia dan aku sedang pergi bersama. Dan Mama bilang, Arga meninggal di tempat, sementara aku mengalami koma. Aku rasa, hal yang baru ku alami bukanlah mimpi. Aku benar-benar yakin bila aku baru mengenal Arga beberapa bulan yang lalu. Aku tak bisa lagi menahan emosiku. Aku menangis sejadi-jadinya seperti orang kesurupan. Papa yang panik langsung memanggil dokter. Dokter segera datang dengan membawa beberapa suster. Ketika aku melihat wajahnya, jantungku serasa berhenti berdetak. Ia adalah Arga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar