Delapan belas tahun kemudian…
Malam itu
udara sangat dingin. Salju-salju yang turun menutupi sebagian jalan beraspal.
Di sana-sini, suara nyanyian natal terdengar sayup-sayup dibawa angin malam.
Beberapa kali, terlihat orang-orang saling mengucapkan selamat natal.
Jauh dari
keramaian kota London, di sebuah rumah sederhana dengan halaman luas yang
ditanami beberapa pohon, tampak sebuah pesta perayaan natal kecil-kecilan
diadakan.
“Oh, Harry!
Selama aku menjadi sahabatmu, tak pernah kulihat rambutmu rapi! Sekali-kali,
kau perlu mencoba merapikannya! Aku kan sudah memberitahumu mantranya!” Omel
Hermione sambil mengayunkan tongkatnya di udara. Beberapa makanan dan minuman
datang dengan bunyi ‘pop’ pelan.
“Sudah
kucoba, tapi tak pernah berhasil! Rambutku memang seharusnya begini, kau tahu? Beberapa hari yang lalu, aku nyaris
tewas karena berusaha merapikannya! Mantramu malah melukaiku!” Ujar Harry
sambil menunjukkan plester yang menempel di dahinya, dekat dengan bekas luka
berbentuk sambaran petir. “Kau mirip sekali dengan bibi Petunia, yang selalu
berjengit dan berusaha keras merapikan rambutku!”
Ia pergi ke
ruang keluarga dan menyalakan televisi. Memilah canel asal-asalan yang
kira-kira asik untuk di tonton.
“Seberapapun
kerasnya kau menyuruhnya, tetap tak akan berhasil, sayang! Kau seperti tak
pernah mengenal adik iparku saja!” Celetuk Ron masuk ke ruang makan dan
mengambil sepotong kue tart buatan Ginny. “Hmm, ‘uemu enyak hekali Hinny! Hau
belajar membuhat ‘ue mukkle hini hari manah?”
“Siapa lagi
kalau bukan dari kakak iparku yang pintar ini?” Jawab Ginny. Ia masuk ke ruang
makan dengan membawa senampan minuman soda kaleng dan menaruhnya di ujung meja.
“Hei!
Haruskah semua makanan yang disajikan di sini ‘berbau’ muggle?”
“Aku sedang
belajar untuk benar-benar berbaur
dengan para muggle di sini, Ron! Aku tak ingin mereka curiga pada kami!
Lagipula, melakukan berbagai kegiatan yang dilakukan muggle sangat
menyenangkan. Dad pasti menyukainya! Betul tidak Hermione?”
“Yeah! Aku
tak sabar ingin melihat ekspresi Dad!” Ungkapnya sambil tersenyum.
“Omong-omong, di mana anak-anak?”
“Kami di
sini Mum!” Kata Hugo, putra bungsunya dari kamar Albus. “Tanpa Rose! Mungkin
sedang berkutat dengan buku-buku super-tebalnya!” Tambahnya.
“Hugo!”
Raung Rose dari loteng, kamar kerja Harry.
“Dasar, kutu
buku!” Umpat Hugo. “Sebentar lagi kami turun!”
“Anak-anak
ini, apa yang sedang mereka kerjakan?” Tanya Ron pada Hermione dan Ginny. Ia
mengangkat bahu dan pergi ke ruang keluarga. “Harry, apa ada acara yang
menyenangkan untuk di tonton?”
“Dasar
laki-laki!” Gerutu Hermione.
“Dia memang mirip sekali dirimu! Si Rose! Aku
yakin, di Hogwarts nanti ia akan menjadi murid terpintar, sepertimu!” Puji
Ginny.
“Kau bisa
saja!” Kata Hermione tersipu. Ia mengecek arlojinya. “Sudah pukul delapan, sepertinya
Mum dan Dad sudah tiba,”
Mereka
berdua pergi belakang untuk menyambut Molly dan Arthur Weasley. Sebuah cahaya
kebiruan muncul di kebun belakang Ginny. Makin lama makin besar dan membentuk
siluet dua sosok manusia.
“Perjalanan
yang panjang, eh! Kami hampir ketinggalan portkey!” Ujar Mr. weasley. “Mmm,
baunya harum sekali, apa yang kalian masak?” Tanyanya sambil berjalan masuk
diiringi istri, anak dan menantunya.
“Kami
memasak berbagai makanan muggle! Dad pasti suka!” Jawab Hermione.
“Wow!
Menakjubkan! Aku benar-benar ingin mencobanya!”
“Oh, suamiku
memang tak pernah berubah!” Ujar Mrs. Weasley sambil memandang suaminya penuh
sayang. “Selalu menyukai hal-hal tentang muggle!”
Hermione
menggantungkan mantel Mr. dan Mrs. Waesley, sementara Ginny memanggil Harry,
Ron, dan anak-anak untuk ke ruang makan.
& &
&
Api di
perapian menari-nari dengan luwesnya, memberikan kehangatan di ruang makan.
Denting piring dan garpu yang beradu bagaikan harmoni yang indah di malam itu.
Semuanya terlihat sangat menikmati. Bahkan, perhatian Rose -yang biasanya
terbagi dengan buku- teralihkan sepenuhnya ke makanan yang tersaji di
piringnya.
“Makanan
yang kalian masak benar-benar enak! Ternyata, masakan muggle tak terlalu
buruk!” Komentar Mr. Weasley. “Lain kali, buatkan aku itu lagi ya!” Lanjutnya
menunjuk piring Lasagna yang bersisakan saus dan remah daging asap.
“Tenang,
Dad! Akan kubuatkan lagi nanti,” Jawab Ginny.
Pesta terus
berlanjut. Beberapa datang terlambat, Neville, George, Percy, Luna, dan Draco
beserta keluarga kecilnya. Draco terlihat sama pucatnya. Tuxedo hitam mewah
dengan kemeja biru yang dikenakan tampak sangat kontras dengan warna kulitnya
yang pucat. Rambutnya sedikit rontok, hingga dagunya terlihat lebih runcing.
“Draco! Lama
tak berjumpa! Kau sama sekali tak berubah, kecuali rambutmu!” Sambut Harry.
“Kau ini!”
Draco menepuk lengan Harry. “Aku bawakan ini, sedikit oleh-oleh untukmu,”
Ujarnya sambil menyerahkan tas kertas pada Harry.
“Terima
kasih, kawan!” Kata Harry senang. Ia mengambil tongkatnya dan memindahkan satu
kantong penuh Butterbeer ke dapur dengan satu lambaian. “Inikah Scorpiusmu? Ia
mirip sekali denganmu!”
Sementara
orang-orang sibuk dengan obrolan dan makanan, Albus, putra kedua Harry tampak
sedikit murung. Hal ini membuat Harry gatal untuk mencari tahu penyebabnya. Ia
mebawa Albus ke halaman rumah, tempat yang ideal untuk bicara empat mata.
“Kau kenapa,
nak?” Tanya Harry.
“Tidak
apa-apa, Dad. Hanya saja..,” Jawab Albus menggantung. Harry memberikan segelas
Butterbeer yang dibawa Draco.
“Katakan
saja apa yang ingin kau ucapkan. Itu akan membuatmu lega,”
“Yeah,
sebenarnya,.. akhir-akhir ini aku memikirkan sesuatu. Aku.. aku takut kalau aku
akan berbeda,”
“Berbeda
karena apa?”
“Tahun
depan, aku akan masuk Hogwarts. James menceritakan berbagai hal tentang
Hogwarts padaku, termasuk asrama yang ada. Paman Ron selalu bilang, bahwa
seluruh keluarga besar kita masuk Gryffindor. Aku takut, aku tidak bisa masuk.
Bagaimana kalau aku masuk Slytherin?” Jelasnya dengan nada cemas. Matanya hanya
fokus pada pemandangan kota London yang berkelap-kelip seperti bintang.
Harry
berjalan menuju kursi yang ada di dekatnya.
“Kau tahu,
nak? Mengapa aku menamaimu Albus Severus?” Tanya Harry. Albus menggeleng lemah.
“Albus dan Severus, nama dua kepala sekolah terhebat yang pernah dimiliki
Hogwarts! Dan salah satunya merupakan Slytherin!”
Albus begitu
tercengang mendengar hal ini.
“Betulkah
itu, Dad?”
“Tentu saja!
Untuk apa aku berbohong padamu?” Ia meneguk Butterbeernya. “Dengar, Al, bagiku
kau masuk Gryffindor atau Slytherin atau asrama lain, itu tak masalah. Kau
tetap anakku yang hebat!” Ia menggaruk kepala anaknya yang raut mukanya telah
berubah menjadi bahagia.
Harry
menatap wajah Albus. Di antara ketiga anaknya, hanya Albus yang mewarisi
matanya, mata Lily Evans. Kedua mata hijau cemerlang itu kemudian bertemu, dan
saling mengungkapkan kerinduan yang mendalam pada sosok Lily Evans dalam diam.
Malam itu, langit begitu cerah dan bintang bersinar terang. Sekali lagi,
terdengar nyanyian natal membahana dan gelak tawa bahagia. Semuanya kembali
seperti sediakala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar