Minggu, 05 Mei 2013

058.Epilog Harry Potter



Delapan belas tahun kemudian…
Malam itu udara sangat dingin. Salju-salju yang turun menutupi sebagian jalan beraspal. Di sana-sini, suara nyanyian natal terdengar sayup-sayup dibawa angin malam. Beberapa kali, terlihat orang-orang saling mengucapkan selamat natal.
Jauh dari keramaian kota London, di sebuah rumah sederhana dengan halaman luas yang ditanami beberapa pohon, tampak sebuah pesta perayaan natal kecil-kecilan diadakan.
“Oh, Harry! Selama aku menjadi sahabatmu, tak pernah kulihat rambutmu rapi! Sekali-kali, kau perlu mencoba merapikannya! Aku kan sudah memberitahumu mantranya!” Omel Hermione sambil mengayunkan tongkatnya di udara. Beberapa makanan dan minuman datang dengan bunyi ‘pop’ pelan.
“Sudah kucoba, tapi tak pernah berhasil! Rambutku memang seharusnya begini, kau tahu? Beberapa hari yang lalu, aku nyaris tewas karena berusaha merapikannya! Mantramu malah melukaiku!” Ujar Harry sambil menunjukkan plester yang menempel di dahinya, dekat dengan bekas luka berbentuk sambaran petir. “Kau mirip sekali dengan bibi Petunia, yang selalu berjengit dan berusaha keras merapikan rambutku!”
Ia pergi ke ruang keluarga dan menyalakan televisi. Memilah canel asal-asalan yang kira-kira asik untuk di tonton.
“Seberapapun kerasnya kau menyuruhnya, tetap tak akan berhasil, sayang! Kau seperti tak pernah mengenal adik iparku saja!” Celetuk Ron masuk ke ruang makan dan mengambil sepotong kue tart buatan Ginny. “Hmm, ‘uemu enyak hekali Hinny! Hau belajar membuhat ‘ue mukkle hini hari manah?”
“Siapa lagi kalau bukan dari kakak iparku yang pintar ini?” Jawab Ginny. Ia masuk ke ruang makan dengan membawa senampan minuman soda kaleng dan menaruhnya di ujung meja.
“Hei! Haruskah semua makanan yang disajikan di sini ‘berbau’ muggle?”
“Aku sedang belajar untuk benar-benar berbaur dengan para muggle di sini, Ron! Aku tak ingin mereka curiga pada kami! Lagipula, melakukan berbagai kegiatan yang dilakukan muggle sangat menyenangkan. Dad pasti menyukainya! Betul tidak Hermione?”
“Yeah! Aku tak sabar ingin melihat ekspresi Dad!” Ungkapnya sambil tersenyum. “Omong-omong, di mana anak-anak?”
“Kami di sini Mum!” Kata Hugo, putra bungsunya dari kamar Albus. “Tanpa Rose! Mungkin sedang berkutat dengan buku-buku super-tebalnya!” Tambahnya.
“Hugo!” Raung Rose dari loteng, kamar kerja Harry.
“Dasar, kutu buku!” Umpat Hugo. “Sebentar lagi kami turun!”
“Anak-anak ini, apa yang sedang mereka kerjakan?” Tanya Ron pada Hermione dan Ginny. Ia mengangkat bahu dan pergi ke ruang keluarga. “Harry, apa ada acara yang menyenangkan untuk di tonton?”
“Dasar laki-laki!” Gerutu Hermione.
 “Dia memang mirip sekali dirimu! Si Rose! Aku yakin, di Hogwarts nanti ia akan menjadi murid terpintar, sepertimu!” Puji Ginny.
“Kau bisa saja!” Kata Hermione tersipu. Ia mengecek arlojinya. “Sudah pukul delapan, sepertinya Mum dan Dad sudah tiba,”
Mereka berdua pergi belakang untuk menyambut Molly dan Arthur Weasley. Sebuah cahaya kebiruan muncul di kebun belakang Ginny. Makin lama makin besar dan membentuk siluet dua sosok manusia.
“Perjalanan yang panjang, eh! Kami hampir ketinggalan portkey!” Ujar Mr. weasley. “Mmm, baunya harum sekali, apa yang kalian masak?” Tanyanya sambil berjalan masuk diiringi istri, anak dan menantunya.
“Kami memasak berbagai makanan muggle! Dad pasti suka!” Jawab Hermione.
“Wow! Menakjubkan! Aku benar-benar ingin mencobanya!”
“Oh, suamiku memang tak pernah berubah!” Ujar Mrs. Weasley sambil memandang suaminya penuh sayang. “Selalu menyukai hal-hal tentang muggle!”
Hermione menggantungkan mantel Mr. dan Mrs. Waesley, sementara Ginny memanggil Harry, Ron, dan anak-anak untuk ke ruang makan.
&  &  &
Api di perapian menari-nari dengan luwesnya, memberikan kehangatan di ruang makan. Denting piring dan garpu yang beradu bagaikan harmoni yang indah di malam itu. Semuanya terlihat sangat menikmati. Bahkan, perhatian Rose -yang biasanya terbagi dengan buku- teralihkan sepenuhnya ke makanan yang tersaji di piringnya.
“Makanan yang kalian masak benar-benar enak! Ternyata, masakan muggle tak terlalu buruk!” Komentar Mr. Weasley. “Lain kali, buatkan aku itu lagi ya!” Lanjutnya menunjuk piring Lasagna yang bersisakan saus dan remah daging asap.
“Tenang, Dad! Akan kubuatkan lagi nanti,” Jawab Ginny.
Pesta terus berlanjut. Beberapa datang terlambat, Neville, George, Percy, Luna, dan Draco beserta keluarga kecilnya. Draco terlihat sama pucatnya. Tuxedo hitam mewah dengan kemeja biru yang dikenakan tampak sangat kontras dengan warna kulitnya yang pucat. Rambutnya sedikit rontok, hingga dagunya terlihat lebih runcing.
“Draco! Lama tak berjumpa! Kau sama sekali tak berubah, kecuali rambutmu!” Sambut Harry.
“Kau ini!” Draco menepuk lengan Harry. “Aku bawakan ini, sedikit oleh-oleh untukmu,” Ujarnya sambil menyerahkan tas kertas pada Harry.
“Terima kasih, kawan!” Kata Harry senang. Ia mengambil tongkatnya dan memindahkan satu kantong penuh Butterbeer ke dapur dengan satu lambaian. “Inikah Scorpiusmu? Ia mirip sekali denganmu!”
Sementara orang-orang sibuk dengan obrolan dan makanan, Albus, putra kedua Harry tampak sedikit murung. Hal ini membuat Harry gatal untuk mencari tahu penyebabnya. Ia mebawa Albus ke halaman rumah, tempat yang ideal untuk bicara empat mata.
“Kau kenapa, nak?” Tanya Harry.
“Tidak apa-apa, Dad. Hanya saja..,” Jawab Albus menggantung. Harry memberikan segelas Butterbeer yang dibawa Draco.
“Katakan saja apa yang ingin kau ucapkan. Itu akan membuatmu lega,”
“Yeah, sebenarnya,.. akhir-akhir ini aku memikirkan sesuatu. Aku.. aku takut kalau aku akan berbeda,”
“Berbeda karena apa?”
“Tahun depan, aku akan masuk Hogwarts. James menceritakan berbagai hal tentang Hogwarts padaku, termasuk asrama yang ada. Paman Ron selalu bilang, bahwa seluruh keluarga besar kita masuk Gryffindor. Aku takut, aku tidak bisa masuk. Bagaimana kalau aku masuk Slytherin?” Jelasnya dengan nada cemas. Matanya hanya fokus pada pemandangan kota London yang berkelap-kelip seperti bintang.
Harry berjalan menuju kursi yang ada di dekatnya.
“Kau tahu, nak? Mengapa aku menamaimu Albus Severus?” Tanya Harry. Albus menggeleng lemah. “Albus dan Severus, nama dua kepala sekolah terhebat yang pernah dimiliki Hogwarts! Dan salah satunya merupakan Slytherin!”
Albus begitu tercengang mendengar hal ini.
“Betulkah itu, Dad?”
“Tentu saja! Untuk apa aku berbohong padamu?” Ia meneguk Butterbeernya. “Dengar, Al, bagiku kau masuk Gryffindor atau Slytherin atau asrama lain, itu tak masalah. Kau tetap anakku yang hebat!” Ia menggaruk kepala anaknya yang raut mukanya telah berubah menjadi bahagia.
Harry menatap wajah Albus. Di antara ketiga anaknya, hanya Albus yang mewarisi matanya, mata Lily Evans. Kedua mata hijau cemerlang itu kemudian bertemu, dan saling mengungkapkan kerinduan yang mendalam pada sosok Lily Evans dalam diam. Malam itu, langit begitu cerah dan bintang bersinar terang. Sekali lagi, terdengar nyanyian natal membahana dan gelak tawa bahagia. Semuanya kembali seperti sediakala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar