Indahnya
bunga Lily yang mekar tak dapat lagi kulihat. Bahkan, siang dan malam, cahaya
maupun temaram tak bisa lagi ku bedakan. Semua sama bagiku. Gelap, dan sendiri.
Aku tak mampu melakukan apa-apa selain menangis dan berteriak. Membuat
kegaduhan di tengah malam, merusak berbagai benda yang tersenggol olehku dan
mengamuk bila aku tak bisa melakukan sesuatu hal dengan benar. Bisa saja aku
bicara, mengatakan sesuatu agar ada yang bisa membantuku. Namun, aku memilih
diam. Membungkam mulutku untuk selamanya.
Hari
ini aku mengurung diri di kamar seperti biasanya. Kusentuh setangkai bunga Lily
yang di taruh pada vas bunga. Warna yang kupilih senada dengan bunganya, putih.
Tiba-tiba, kenangan itu terlintas begitu saja di kepalaku. Kecelakaan mobil 3
tahun lalu yang merenggut kekasih yang sangat kucintai dan penglihatanku.
Panasnya darah yang menetes di wajah dan tubuhku begitu terasa menyengat.
Teriakan-teriakan panik dan sirine Ambulans mengguruh di telingaku. Sepasang
tangan menangkap tubuhku. Aku berusaha bertahan, menggenggam tangan kekasihku
dengan sisa tenaga yang kumiliki. Tangan itu tetap bersikeras untuk membawaku
keluar dari mobil rongsok itu. Aku meronta. Namun, tak ada lagi yang dapat ku
lakukan. Tubuhku terkulai lemah. Aku menyerah.
Semua
terasa gelap, hitam dan gulita. Bau karbol dan obat-obatan segera memenuhi
indera penciumanku. Aku mencoba membuka mata. Ada yang menghalangi pandanganku.
Kuraba mataku, dan kurasakan berlapis-lapis kain kasa menutupinya. Aku
berteriak, meronta, mengamuk sejadi-jadinya. Ku lempar apa saja yang bisa ku
raih. Suara langkah-langkah kaki yang terburu-buru dan pintu dibuka aku
abaikan. Aku terus mengamuk. Ku rasakan beberapa pasang tangan memegangiku
dengan erat. Kemudian, sesuatu mengalir ke urat nadiku.
“Tiara!
Tiara!”
Seseorang memanggil-manggilku.
Napasku bergemuruh. Dadaku sesak. Sesuatu yang hangat mengalir di pipiku.
Tubuhku sulit bergerak karena ada yang memelukku, menahan setiap gerakan yang
ingin kulakukan.
“Tenang,
Tiara! Tenang! Semua baik-baik saja!” Ucap Darma. Aku menangis, menumpahkan air
mata yang sudah menumpuk di pelupuk mataku. Aku sudah tak tahan, rasanya aku
ingin mengakhiri semuanya. Hidupku sudah tak lagi berharga. Aku ingin segera
menyusul kekasihku, bertemu dengannya di surga. Atau mungkin neraka? Aku tak
peduli. Asal aku bisa bersamanya, itu sudahlah cukup. Aku tak menginginkan
apapun kecuali dia. Dia yang memberiku ketulusan, dia yang memberiku kasih sayang,
dia…cinta pertamaku.
“Tiara!
Sudah! Ini, minum obat dulu!”
“Aku
tak peduli dengan obat itu! Aku tak peduli bila aku harus mati! Aku tak peduli
dengan hidupku! DAN AKU TAK PEDULI DENGAN DIRIMU!” Teriakku di tengah isakan
tangis. Aku melanggar janjiku untuk terus diam. Aku merasakan pelukkan Darma
mengendur. Tak ada kalimat yang terucap darinya. Hanya suara napas.
“Ti..Tiara!
Kamu.. kamu..,”
Aku
mencoba melepaskan diri darinya. Ku raba lantai, mencari sesuatu yang bisa
kugunakan. Ku raih sebuah gunting dan ku iris pergelangan tanganku sedalam
mungkin, agar urat nadiku terpotong. Darah mulai mengalir. Sangat perih, namun
itu sebanding dengan penderitaanku selama ini. Akhirnya, aku dapat bertemu
dengan kekasihku, meski di neraka sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar