Minggu, 05 Mei 2013

060.Akhir Pengantin



Indahnya bunga Lily yang mekar tak dapat lagi kulihat. Bahkan, siang dan malam, cahaya maupun temaram tak bisa lagi ku bedakan. Semua sama bagiku. Gelap, dan sendiri. Aku tak mampu melakukan apa-apa selain menangis dan berteriak. Membuat kegaduhan di tengah malam, merusak berbagai benda yang tersenggol olehku dan mengamuk bila aku tak bisa melakukan sesuatu hal dengan benar. Bisa saja aku bicara, mengatakan sesuatu agar ada yang bisa membantuku. Namun, aku memilih diam. Membungkam mulutku untuk selamanya.
            Hari ini aku mengurung diri di kamar seperti biasanya. Kusentuh setangkai bunga Lily yang di taruh pada vas bunga. Warna yang kupilih senada dengan bunganya, putih. Tiba-tiba, kenangan itu terlintas begitu saja di kepalaku. Kecelakaan mobil 3 tahun lalu yang merenggut kekasih yang sangat kucintai dan penglihatanku. Panasnya darah yang menetes di wajah dan tubuhku begitu terasa menyengat. Teriakan-teriakan panik dan sirine Ambulans mengguruh di telingaku. Sepasang tangan menangkap tubuhku. Aku berusaha bertahan, menggenggam tangan kekasihku dengan sisa tenaga yang kumiliki. Tangan itu tetap bersikeras untuk membawaku keluar dari mobil rongsok itu. Aku meronta. Namun, tak ada lagi yang dapat ku lakukan. Tubuhku terkulai lemah. Aku menyerah.
            Semua terasa gelap, hitam dan gulita. Bau karbol dan obat-obatan segera memenuhi indera penciumanku. Aku mencoba membuka mata. Ada yang menghalangi pandanganku. Kuraba mataku, dan kurasakan berlapis-lapis kain kasa menutupinya. Aku berteriak, meronta, mengamuk sejadi-jadinya. Ku lempar apa saja yang bisa ku raih. Suara langkah-langkah kaki yang terburu-buru dan pintu dibuka aku abaikan. Aku terus mengamuk. Ku rasakan beberapa pasang tangan memegangiku dengan erat. Kemudian, sesuatu mengalir ke urat nadiku.

            “Tiara! Tiara!”
Seseorang memanggil-manggilku. Napasku bergemuruh. Dadaku sesak. Sesuatu yang hangat mengalir di pipiku. Tubuhku sulit bergerak karena ada yang memelukku, menahan setiap gerakan yang ingin kulakukan.
            “Tenang, Tiara! Tenang! Semua baik-baik saja!” Ucap Darma. Aku menangis, menumpahkan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk mataku. Aku sudah tak tahan, rasanya aku ingin mengakhiri semuanya. Hidupku sudah tak lagi berharga. Aku ingin segera menyusul kekasihku, bertemu dengannya di surga. Atau mungkin neraka? Aku tak peduli. Asal aku bisa bersamanya, itu sudahlah cukup. Aku tak menginginkan apapun kecuali dia. Dia yang memberiku ketulusan, dia yang memberiku kasih sayang, dia…cinta pertamaku.
            “Tiara! Sudah! Ini, minum obat dulu!”
            “Aku tak peduli dengan obat itu! Aku tak peduli bila aku harus mati! Aku tak peduli dengan hidupku! DAN AKU TAK PEDULI DENGAN DIRIMU!” Teriakku di tengah isakan tangis. Aku melanggar janjiku untuk terus diam. Aku merasakan pelukkan Darma mengendur. Tak ada kalimat yang terucap darinya. Hanya suara napas.
            “Ti..Tiara! Kamu..  kamu..,”
            Aku mencoba melepaskan diri darinya. Ku raba lantai, mencari sesuatu yang bisa kugunakan. Ku raih sebuah gunting dan ku iris pergelangan tanganku sedalam mungkin, agar urat nadiku terpotong. Darah mulai mengalir. Sangat perih, namun itu sebanding dengan penderitaanku selama ini. Akhirnya, aku dapat bertemu dengan kekasihku, meski di neraka sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar